Jejak Papa yang Selalu Ada

Waktu kecil, aku merasa rumah itu tempat yang paling nyaman. Tempat dimana Ibu dan Papa selalu ada. Rasanya, dunia ini aman banget. Nggak perlu mikir macam-macam. Semua kebutuhan ada. Semua masalah selesai entah gimana caranya yang penting mereka ada.

Aku memang nggak terlalu dekat sama Papa saat itu. Interaksi kami ya sekadar rutinitas aja. Papa yang nganter sekolah, pulang sore dari kantor, kadang aku main ke kantornya cuma biar bisa pulang bareng. Tapi sekarang, saat aku lihat ke belakang, ternyata itu bentuk kedekatan juga, ya. Tapi versi diam-diam.

Semua berubah waktu aku kuliah dan harus tinggal di kota lain. Untuk pertama kalinya, aku jauh dari rumah. Jauh dari rutinitas yang familiar. Jauh dari kenyamanan. Di sanalah semua mulai terasa berat. Masalah datang silih berganti. Dari akademik, pertemanan, sampai hal-hal yang bikin aku burnout tanpa sadar.

2013, foto wisudaku

Kekosongan setelah Papa Pergi

Setelah Papa meninggal, rasanya kayak ada lubang di dalam dada. Bukan lubang besar yang dramatis kayak di film. Ini tuh kayak sesuatu kosong yang nggak kelihatan, tapi nyata. Sehari-hari tetap jalan, tapi rasanya kayak ngelewatin semuanya dengan autopilot. Makan, kerja, ngobrol, semuanya cuma rutinitas tanpa rasa.

Dulu, waktu denger orang bilang, “Jangan sampai nyesel kalau orang tua udah nggak ada,” aku ngerasa kalimat itu klise. Aku pikir, selama aku nggak pernah nyakitin Papa, selama aku selalu bersikap baik, harusnya nggak akan ada penyesalan.

Tapi ternyata...