Jejak Papa yang Selalu Ada

Waktu kecil, aku merasa rumah itu tempat yang paling nyaman. Tempat dimana Ibu dan Papa selalu ada. Rasanya, dunia ini aman banget. Nggak perlu mikir macam-macam. Semua kebutuhan ada. Semua masalah selesai entah gimana caranya yang penting mereka ada.

Aku memang nggak terlalu dekat sama Papa saat itu. Interaksi kami ya sekadar rutinitas aja. Papa yang nganter sekolah, pulang sore dari kantor, kadang aku main ke kantornya cuma biar bisa pulang bareng. Tapi sekarang, saat aku lihat ke belakang, ternyata itu bentuk kedekatan juga, ya. Tapi versi diam-diam.

Semua berubah waktu aku kuliah dan harus tinggal di kota lain. Untuk pertama kalinya, aku jauh dari rumah. Jauh dari rutinitas yang familiar. Jauh dari kenyamanan. Di sanalah semua mulai terasa berat. Masalah datang silih berganti. Dari akademik, pertemanan, sampai hal-hal yang bikin aku burnout tanpa sadar.

2013, foto wisudaku

Suatu hari, aku akhirnya cerita ke Papa lewat telepon. Awalnya, cuma butuh didengar. Nggak berharap banyak. Tapi ternyata, Papa jauh lebih dari sekedar pendengar. Papa ngasih nasihat yang nggak cuma masuk akal, tapi juga menenangkan.

Papa selalu menyambungkan semuanya ke Al-Qur’an. Ada aja ayat yang beliau kutip, yang nyambung sama masalahku. Dan itu masuk banget. Nggak berlebihan juga nggak menggurui. Tapi bikin hati adem. Dari situ aku sadar, Al-Qur’an itu memang pedoman hidup manusia. Jawaban semua keresahan kita ada di situ, walau mungkin nggak selalu tersurat.

Sejak hari itu, aku jadi sering banget curhat ke Papa. Tentang apapun. Tentang hidup yang makin rumit. Tentang pilihan-pilihan yang bikin bingung. Tentang takut gagal, takut salah, takut sendirian. Dan entah kenapa, tiap kali selesai ngobrol sama Papa, semuanya jadi terasa bisa dijalani lagi.

Karena selama ada Papa...semua akan baik-baik saja.

Bukan karena Papa yang menyelesaikan masalahku. Tapi karena Papa selalu ada dan kehadirannya meskipun hanya lewat suara di telepon cukup untuk bikin aku merasa kuat.

Sekarang, Papa udah nggak ada. Aku sering tanya ke diri sendiri, “Apa hidupku masih akan baik-baik saja?”

Aku belum tahu jawabannya. Hanya aja semua kebaikan yang dulu Papa tanam dalam bentuk nasihat, pelukan yang jarang tapi hangat, ayat-ayat yang masih terngiang di kepala itu nggak hilang. Mereka tetap hidup di dalam aku. Dan itulah cara Papa untuk tetap “ada”.

Jadi walau sedih, aku mencoba percaya: hidupku akan tetap baik-baik saja. Karena jejak Papa masih menuntunku meski sekarang tanpa suara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar